KATA
PENGANTAR
Alhamdulilah
atas kehendak dan pertolongan Allah SWT, penyusun dapat menyelesaikan makalah
tentang Ciri dan Tahap Perkembangan
Religius pada Anak dapat terselesaikan dengan tepat waktu.
Dalam
menyelesaikan makalah ini, penyusun menyampaikan penghargaan dan terima kasih
yang setinggi-tingginya kepada semua pihak yang membantu, terutama kepada dosen
pengampu, yaitu IbuIin Yulianti, MA serta rekan-rekan semua yang telah
memberikan semangat dan motivasi untuk menyelesaikan masalah ini.
Penyusun
menyadari dalam pembuatan makalah ini masih adanya kekurangan dan kesalahan,
hal itu disebabkan karena keterbatasan penyusun, baik dalam pemahaman materi,
maupun dalam referensi yang dijadikan rujukan dan sumber penyusunan makalah.
Mudah-mudahan penyusunan makalah ini mendapat ridha Allah serta kita semua
dapat mengambil manfaat keilmuan yang terdapat didalamnya.
Bandar
Lampung, Oktober 2018
Penyusun
DAFTAR
ISI
Halaman
Judul....................................................................................................
i
Kata
Pengantar....................................................................................................
ii
Daftar
Isi ............................................................................................................ iii
BAB I PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang.....................................................................................
1
B.
Rumusan Masalah.................................................................................
1
C.
Tujuan Penulisan................................................................................... 1
BAB
II PEMBAHASAN
A. Ciri-ciri Keagamaan
Pada Anak........................................................... 2
B. Tahap Perkembangan
Religius Pada Anak........................................... 6
BAB
III PENUTUP
Kesimpulan................................................................................................ 8
Daftar
Pustaka ................................................................................................... 9
BAB
I
PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang
Hampir seluruh ahli ilmu jiwa sependapat, bahwa
sesungguhnya apa yang menjadi keinginan dan kebutuhan manusia itu bukan hanya
terbatas pada kebutuhan makan, minum, pakaian ataupun kenikmatan-kenikmatan
lainnya. Manusia juga ingin mengabdikan dirinya kepada Tuhan atau sesuatu yang
dianggapnya sebagai zat yang mempunyai kekuasaan tertinggi. Keinginan itu
terdapat pada setiap kelompok, golongan atau masyarakat manusia dari yang
paling primitif hingga paling modern.
Manusia dilahirkan dalam keadaan lemah fisik maupun
psikis. Menurut beberapa ahli, anak dilahirkan bukanlah sebagai makhluk yang
religius. Apabila bakat elementer bayi lambat bertumbuh dan matang, maka agak
sukarlah untuk melihat adanya keagamaan dalam dirinya. Meskipun demikian, ada yang
berpendapat, bahwa tanda-tanda keagamaan pada dirinya tumbuh terjalin secara
integral dengan perkembangan fungsi-fungsi kejiwaan lainnya.
B. Rumusan
Masalah
1.
Apa sajakah
ciri-ciri keagamaan pada anak?
2.
Apa sajakah
tahap perkembangan religius pada anak?
C. Tujuan
1.
Untuk
mengetahui ciri keagamaan pada anak.
2.
Untuk
mengetahui tahapan perkembangan religius pada anak.
BAB
II
PEMBAHASAN
Perkembangan agama pada masa anak, terjadi melalui
pengalaman hidupnya sejak kecil, dalam keluarga, di sekolah, dan dalam
lingkungan masyarakat. Semakin banyak pengalaman yang bersifat agama (sesuai
dengan ajaran agama), dan semakin banyak unsur agama, maka sikap, tindakan,
kelakuan dan caranya menghadapi hidup akan sesuai dengan ajaran agama.[1]
A. Ciri-ciri
Keagamaan pada Anak
Memahami konsep keagamaan pada anak berarti memahami
sifat agama pada anak-anak. Sesuai dengan ciri yang mereka miliki, maka
keagamaan pada anak-anak tumbuh mengikuti pola “ideas concept on authority”
Idea keagamaan pada anak hampir sepenuhnya authoritarius maksudnya konsep keagamaan pada diri mereka
dipengaruhi oleh unsur dari luar diri mereka[2]. Hal
tersebut dapat dimengerti karena anak sejak usia muda telah melihat,
mempelajari hal-hal yang berada di luar diri mereka. Mereka telah melihat dan
mengikuti apa-apa yang dikerjakan dan di ajarkan orang dewasa dan orang tua
mereka tentang sesuatu hingga masalah agama. Orang tua memiliki pengaruh
terhadap anak sesuai dengan prinsip neksplorasi yang mereka miliki. Dengan
demikian ketaatan kepada ajaran agama merupakan kebiasaan yang menjadi milik
mereka yang mereka pelajari dan pada
orang tua maupun guru mereka bagi mereka sangat mudah untuk menerima ajaran
dari orang dewasa walaupun ajaran itu belum mereka sadari sepenuhnya manfaat
ajaran tersebut. Berdasarkan hal tersebut maka bentuk dan sifat agama pada diri
anak dapat dibagi atas:
a.
Orientasi
Egosentris (FgocentricOriented)
Ciri keberagamaan
masa anak-anak yang pertama yang paling jelas adalah orientasi egosentris. Anak memiliki
kesadaran akan diri sendiri seiak pada tahun pertama dalam pertumbuhannya dan
akan berkembang sejalan dengan pertambahan pengalamannya. Apabila kesadaran
akan dini itu mulai subur pada diri anak, maka akan tumbuh keraguan pada rasa
egonya. Semakin bertumbuh semakin meningkat pula egoismenya. Sehubungan dengan
hal itu maka dalam masalah keagamaan anak telah menonjolkan kepentingan dirinya
dan telah menuntut konsep keagamaan yang
mereka pandang dari kesenangan pribadinya.
Doa masa anak-anak dilandasi oleh orientasi
egosentris. Elkind, Soilka, dan Long, mepelajari konsep doa di antara 160 anak
laki-laki dan perempuan, umur 5-12 tahun, dengan melukiskan tiga tingkat
perkembangan dalam doa mereka. Tingkat pertama, umur 5-7 tahun, anak secara
sadar menghubungkan doa dengan Tuhan atau formula doa tertentu yang diajarkan
orang kepada mereka. Tetapi pengalaman doa itu tidak jelas dan tidak rinci.
Pada tingkat kedua, umur 7-9 tahun, doa secara khusus dihubungkan dengan
kegiatan atau gerak-gerik tertentu tetapi tetap konkrit dan amat peribadi. Dalam tingkat ketiga, umur 9-12tahun, ide
tentang doa sebagai komunikasi antara anak dan Tuhan mulai tampak. Baru pada
tahap ketiga itu isi doa beralih dan keinginan ego- sentris (mendapatkan
gula-gula, mainan, boneka, dan sebagainya) ke masalah yang tertuju pada orang
lain dan bersifat etis (cinta sesama, perdamaian, tolong-menolong).
Ide anak-anak
tentang Tuhan pada awalnya, dibentuk dalam gambaran orang tua dalam kerangka
kebutuban anak-anak untuk menghadapi lingkungan hidupnya. Konsep dan ide pada masa ini belum
terpikirkan dengan masak-masak tetapi lebih merupakan peniruan. Konsep dan ide diterima atas dasar
hubungan dengan orang orang yang berpengaruh pada mereka dari pada atas dasar
isi dan arti rasional dan teologis. Orang tua, ulama, pastor, lebih memberi isi
dan arti teologis pada perilaku keagamaan anak, isi dan arti teologis yang
sesungguhnya belum benyak terdapat pada tingkah laku keagamaannya.
b.
Kekonkritan
Antropomorfis (AntropomorphicConreteness)
Ciri kedua keagamaan anak-anak adaiah kekonkritan
antrpomorfis, di mana kata-kata dan gambaran-gambaran keagama
diterjemahkan ke dalam
pengalaman-peugalaman yang sudah dijalani dan biasanya dalam bentuk orang-orang
yang sudah dikenal. Anak-anak biasanya berusaha menghibungkan penjelasan
keagamaan yang abstrak dengan dunia pengalaman mereka yang kongkrit. Pengertian
Tuhan memberi ganjaran dan menjatuhkan hukuman dengan segera dipahami anak
seperti orang tua yang memberi hadiah dan hukum kepeda mereka. Kekonkritan anak
cenderung menjadi antropomorfis dalam penggambaran mereka tentang Tuhan. Tuhan
dipikirkan dan digambarkan sebagai bapak atau kakek. Jadi Tuhan memiliki mata
untuk melihat, tangan untuk memegang, dan lidah untuk berbicara Tetapi antropomorfis
yang konkrit itu juga berperam bagi anak dalam mengartikan pengalaman yang
dijumpainya. Bapak dapat merupakan kebaikan, ketakutan, dan sebagainya.
Sehingga antropomorfis dalam hal ini
berperan sebagai wahana dan pelestari arti yang bisa hilang karena kemampuan
reflektif anak yang belum berkembang.
Anak-anak menganggap behwa syurga terletak di
langit, dan untuk tempat orang yang baik. Anak menganggap balıwa Tuhan dapat
melihat segala perbuatannya langsung ke rumah rumah mereka sebaga layaknya orang
mengintai. Menurut Praff, pandangan anak tentan Tuhan itu mempunyai wajah
seperti manusia, telinganya lebar dan besar. Tuhan tidak makan tetapi hanya
minum embun. Konsep ketuhanan yang demikian itu mereka bentuk sendiri
berdasarkan fantasi masing-masing.
c.
Eksperimentasi,
Inisiatif, Spontanitas (Experimentation,
Initiative, Spontaneity)
Ciri ketiga, agama masa anak-anak itu tumbuh dan
eksperimentasi dengan individualitas, inisiatif, dan spontanitas. Bersamaan
dengan dunia anak yang cepat meluas melampaui lingkaran keluarga, unsur- unsur
baru yang berkenan dengan mesalah perpisahan mulai muncul. Umur 4, 5, dan 6
tahun merupakan tahun kritis di mana anak mulai berani pergi keluar, mengambil
inisiatif. Menampilkan diri di medan di mana teman-temen sepermainan dan orang
orang dewasa di luar orung tua juga menyatakan atau menganggap sebagai milik.
Agama pada masa anak dengan demikian cenderung
mengambil ciri eksperimentasi dan spontanitas lahir dalam bentul-bentuk
teologis yang tak teramalkan dan individualistis. Emest Hans, seperti disitir
oleh Robert W Crapps, mengatakan balıwa masa anak anak merupakan tahap atau
periode dongeng, di mane fantasi dan emosi merupakan masukan pokok dalam
kreatifitas. Pada masa itu apabila dikatakan kepada anak bahwa Tuhan ada di
atas sana, di syurga, maka anak yang mendengar itu suka memandang ke langit.
Bila ditanya mengapa ia melakukan itu maka anak menjawab bahwa ia melihat Tuhan
Dengan caranya sendiri anak mengungkapkan pandangan teologisnya. Ungkapan anak
tentang Tuhan itu bernada individualistis, emosional, dan spontan, tapi penuh
dengan arti teologis.
d.
Kurang
mendalam/tanpa kritik (Unreflective)
Ciri pengertian kurang mendalam atau kurang kritis.
Artinya bahwa pemahaman anak-anak terhadap ajaran agama dapat saja mereka
terima tanpa kritik. Kebenaran yang mereka terima tidak begitu mendalam
sehingga cukup sekedanya saja dan mereka sudah merasa puas dengan keterangan
yang kadang-kadang kurang masuk akal. Namun demikian hal ini tidak menafikan
beberapa orang anak yang memiliki ketajaman pikiran untuk menimbang pemikiran
yang mereka terima dari orang lain.
Dalam penelitian Machion tentang sejumlah konsep
ke-Tuhanan pada diri anak 73% mereka menganggap Tuhan itu bersifat seperti manusia. Selanjutnya dalam suatu
sekolah ada yang mengatakan bahwa Santa Klaus memotong jengkotnya untuk membuat
bantal. Dengan demikian anggapan mereka terhadap anjaran agama dapat saja
mereka terima tanpa ada kritik.
Penelitian Praff mengemukakan 2 contoh tentang hal itu[3] :
1)
Suatu
peristiwa seorang anak mendapat keterangan dari ayahnya bahwa Tuhan selalu
mengabulkan permintaan hambanya. Kebetulan seorang anak berjalan di depan
sebuah toko mainan. Sang anak tertarik pada sebuah topi berbentuk kerucut.
Sekembalinya dia kerumahlangsung berdoa kepada Tuhan untuk apa yang
diinginkannya itu. Karena hal itu diketahui oleh ibunya, laluibunya berkata
bahwa dalam berdoa tak boleh seseorang memaksakan Tuhan untuk mengabulkan
barang yang diinginkannya itu. Mendengar hal tersebut anak tadi langsung
mengemukakan pertanyaan: “Mengapa?”.
2)
Seorang anak
diberitahukan tentang doa yang dapat menggerakkan sebuah gunung. Berdasatrkan
pengetahuan tersebut maka pada suatu kesempatan anak itu berdoa selama beberapa
jam agar Tuhan memindahkan gunung-gunung yang ada di daerah Washington ke laut.
Karena keinginannya itu tidak terwujud maka semenjak itu ia tak mau berdoa
lagi.
Dua contoh diatas menunjukkan, bahwa anak itu sudah
menunjukkan pemikiran yang kritis, walaupun bersifat sederhana, menurut
penelitian pikiran kritis baru timbul pada usia 12 tahun sejalan dengan
pertumbuhan moral. Di usia tersebut, bahkan anak kurang cerdas pun menunjukkan
pemikiran yang korektif. Disini terlihat bahwa anak meragukan kebenaran ajaran
agama itu secara konkret saja.
e.
Ucapan Dan
Praktik (Verbalisdan Ritualis)
Ciri keempat agama anak, berupa ucapan dan praktik.
Dari kenyataan yang kita alami ternyata kehidupan agama pada anak-anak sebagian
besar tumbuh mula-mula dalam bentuk verbal (ucapan). Mereka menghafal secara
verbal kalimat-kalimat keagamaan dan selain itu amaliah yang mereka laksanakan
berdasarkan pengalaman mereka.
f.
Suka Meniru (Imitatif)
Ciri kelima agama anak adalah suka meniru. Dalam
kehidupan sehari-hari dapat kita saksikan bahwa tindak keagamaan yang dilakukan
oleh anak-anak pada dasarnya mereka peroleh dari meniru. Berdoa dan solat
misalnya mereka laksanakan karena hasil melihat perbuatan dilingkungannya, baik
berupa pembiasaan ataupun pengajaran yang intensif.
g.
Rasa Heran
/Kagum (Numinous)
Ciri keenam agama anak adalah rasa heran. Rasa heran
dan kagum merupakan tanda dan sifat keagamaan yang terakhir pada anak. Berbeda
dengan rasa kagum yang ada pada orang dewasa, maka rasa kagum pada anak belum
bersifat kritis dan kreatif. Mereka hanya kagum terhadap keindahan lahiriyah
saja. Hal ini merupakan langkah pertama dari pernyataan kebutuhan anak akan
dorongan untuk mengenal (new experience). Rasa kagum mereka dapat disalurkan
melalui cerita-cerita yang menimbulkan rasa takjub.
B. Tahap
Perkembangan Religius pada Anak
Menurut penelitian Ernest Harms perkembangan agama
pada anak-anak itu melalui beberapa fase (tingkatan). Dalam bukunya The Development of Religius on Children,
ia mengatakan bahwa perkembangan agama pada anak-anak itu melalui tiga
tingkatan[4],
yaitu:
1.
The Fairy Tale Stage (Tingkat Dongeng)
Tingkatan ini dimulai pada anak yang berusia 3-6
tahun. Pada tingkatan ini konsep mengenai Tuhan lebih banyak dipengaruhi oleh
fantasi dan emosi. Pada tingkat perkembangan ini anak menghayati konsep
ke-Tuhanan sesuai dengan tingkat perkembangan intelektualnya. Kehidupan masa
ini masih banyak dipengaruhi kehidupan fantasi, hingga dalam menanggapi agama
pun anak masih menggunakan konsep fantastis yang diliputi oleh dongeng-dongen
yang kurang masuk akal.
2.
The Realistic Stage (Tingkat Kenyataan)
Tingkat ini dimulai sejak anak masuk Sekolah Dasar
hingga ke usia (masa usia) adolesense.
Pada masa ini, ide ke-Tuhanan anak sudah mencerminkan konsep-konsep yang
berdasarkan kepada kenyataan (realitas). Konsep ini timbul melalui lembaga-lembaga
keagamaan dan pengajaran agama dari orang dewasa lainnya. Pada masa ini ide
keagamaan anak didasarkan atas dorongan emosional, hingga mereka dapat
melahirkan konsep Tuhan yang formalis. Berdasarkan hal itu, maka pada masa ini
anak-anak tertarik dan senang pada lembaga keagamaan yang mereka lihat dikelola
oleh orang dewasa dalam lingkungan mereka. Segala bentuk tindak (amal)
keagamaan mereka ikuti dan pelajari dengan penuh minat.
3.
The Individual Stage (Tingkat Individu)
Pada tingkat ini anak telah memiliki kepekaan emosi
yang paling tinggi sejalan dengan perkembangan usia mereka. Konsep keagamaan
yang individualistis ini terbagi atas tiga golongan, yaitu:
a.
Konsep
ke-Tuhanan yang konvensional dan konservatif dengan dipengaruhi sebagian kecil
fantasi. Hal tersebut disebabkan oleh pengaruh luar.
b.
Konsep
ke-Tuhanan yang lebih murni yang dinyatakan dalam pandangan yang bersifat
personal (perorangan).
c.
Konsep
ke-Tuhanan yang bersifat humanistik. Agama telah menjadi etos humanis pada diri
mereka dalam menghayati ajaran agama. Perubahan ini setiap tingkatan
dipengaruhi oleh faktor intern, yaitu perkembangan usia dan faktor ekstern
berupa pengaruh luar yang dialaminya.
BAB
III
PENUTUP
Kesimpulan
Dilahirkan dalam keadaan lemah fisik maupun
psikis. Menurut beberapa ahli, anak dilahirkan bukanlah sebagai makhluk yang religius.
Apabila bakat elementer bayi lambat bertumbuh dan matang, maka agak sukarlah untuk
melihat adanya keagamaan dalam dirinya. Meskipun demikian, ada yang berpendapat,
bahwa tanda-tanda keagamaan pada dirinya tumbuh terjalin secara integral dengan
perkembangan fungsi-fungsi kejiwaan lainnya.
Perkembangan
agama
pada masa anak, terjadi melalui pengalaman hidupnya sejak kecil, dalam keluarga,
disekolah, dan dalam lingkungan masyarakat. Semakin banyak pengalaman yang bersifat
agama (sesuai dengan ajaran agama), dan semakin banyak unsur agama, maka sikap,
tindakan, kelakuan dan caranya menghadapi hidup akan sesuai dengan ajarana gama.
Menurut
penelitian Ernest Harms perkembangan agama pada anak-anak itu melalui beberapa fase
(tingkatan). Dalam bukunya The Development of Religius on Children, ia mengatakan
bahwa perkembangan agama pada anak-anak itu melalui tiga tingkatan, yaitu: The
Fairy Tale Stage (Tingkat Dongeng), The Realistic Stage (Tingkat
Kenyataan),
dan
The Individual Stage (Tingkat
Individu).
DAFTAR PUSTAKA
Kurniawan, A. T. (2015). Perkembangan Jiwa Agama Pada
Anak. Elementary, 1 (1), 69-80.
Ramayulis. (2013). Psikologi Agama. Jakarta: Kalam Mulia.
Jalaluddin. (2012). Psikologi Agama: Memahami
Perilaku dengan Mengaplikasikan Prinsip-prinsip Psikologi. Jakarta:
Rajawali Pers.
[1] Andree TN, “Jurnal Elementary”, Perkembangan Jiwa Agama
Pada Anak, Vol. 1 Edisi 1, 2015, hal. 69
[2] Rahmayulis, Psikologi Agama
(Jakarta: Kalam Mulia, 2013), hal.56
[3]Ibid hal. 60
[4]Jalaluddin,
Psikologi Agama (Jakarta: Rajawali Pers, 2012) hal. 66
Comments
Post a Comment