KATA PENGANTAR
Puji syukur kami panjatkan
kepada Allah SWT yang telah memberikan karunia-Nya sehingga kami dapat
menyelesaikan makalah yang berjudul “Sejarah
Masuknya Islam di Lampung” ini dengan lancar dan
tanpa halangan apapun. Saya ucapkan
terimakasih kepada pihak-pihak yang turut berkontribusi dalam penulisan makalah
ini, terutama DRS. EFFENDI, M. HUM. sebagai
dosen pengampu, dan teman-teman seperjuangan
Dalam penulisan makalah ini, kami yakin bahwa banyak sekali kekurangan.
Oleh karena itu kami mengaharap sekali kritik dan saran dari pembaca sehingga
akan membawa perbaikan untuk kedepannya. Dan yang terakhir kami berharap
makalah ini bermanfaat bagi siapapun yang membacanya. Terimakasih.
Bandar Lampung, April 2019
Penyusun
DAFTAR ISI
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Sebagaimana yang kita ketahui bahwa mempelajari budaya
lokal merupakan hal penting bagi seorang mahasiswa, termasuk sejarah
perkembangan Islam di dalam dinamika keilmuannya. Islam dan budaya tidak bisa
dipisahkan, begitu juga Islam dengan budaya Lampung. Dalam mempelajari sejarah
perkembangan Islam, tentu begitu banyak manfaat yang akan didapat, seperti
memperkaya pengetahuan Islam dalam hubungannya dengan budaya lokal, mendapat
informasi mengenai asal-usul khazanah kebudayaan serta keahlian yang pernah
diraih oleh umat terdahulu, membentuk karakter umat, meningkatkan berpikir
kronologis, memunculkan rasa bangga akan keanekaragaman budaya lokal, dll.
Oleh karena itu penulis membahasnya
dalam bentuk makalah, sehingganya keilmuan ini dapat dipelajari dan
disebarluaskan. Mempelajari sejarah kebudayaan islam dan kebudayaan lokal
menjadi kesenangan tersendiri bagi yang mempelajarinya, semoga pembaca
dapatmengambil ibrah dari sejarah yang dituliskan dalam makalah ini. Dan tidak
lupa mengingatkan kita sebagai umat Islam, harus memiliki semangat untuk
mengembalikan kejayaan Islam seperti dahulu.
B. Rumusan
Masalah
- Bagaimana
proses masuknya Islam di Lampung?
C. Tujuan
- Adapun
tujuan dari penulisan makalah ini adalah untuk mengetahui bagaimana
perkembangan proses masuknya Islam di provinsi Lampung
BAB
II
PEMBAHASAN
A. Masuknya Islam di Lampung
Islam
masuk ke Lampung melalui tiga penjuru, yang mana seperti yang diterangkan dalam
Lampung Pos pada Rabu, 11 Agustus 2010. Agama Islam masuk Lampung sekitar
abad ke-15 melalui tiga pintu utama. Dari arah barat (Minangkabau) agama ini
masuk melalui Belalau (Lampung Barat), dari utara (Palembang) melalui Komering
pada masa Adipati Arya Damar (1443), dan dari arah selatan (Banten) oleh Fatahillah
atau Sunan Gunung Jati, melalui Labuhan Maringgai di Keratuan Pugung (1525).
Dari
ketiga pintu masuk agama Islam itu, yang paling berpengaruh melalui jalur
selatan. Ini bisa dilihat dari situs-situs sejarah seperti makam Tubagus Haji
Muhammad Saleh di Pagardewa, Tulangbawang Barat, makam Tubagus Machdum di
Kuala, Telukbetung Selatan, dan makam Tubagus Yahya di Lempasing, Kahuripan
diduga keduanya masih keturunan Sultan Hasanuddin dari Banten. Di Ketapang,
Lampung Selatan, terdapat makam Habib Alwi bin Ali Al-Idrus.
Selain
itu, menurut buku Sejarah Perkembangan Pemerintahan di Lampung, terbitan DHD
Angkatan 45 tahun 1994, halaman 49-53, disebutkan pada sekitar abad 18,
sebanyak 12 orang penggawa dari beberapa kebuaian di daerah ini mengunjungi
Banten untuk belajar agama Islam. Mereka adalah penggawa dari Bumi Pemuka Bumi,
penggawa dari Buai Subing, Buai Berugo, Buai Selagai, Buai Aji, Buai Teladas,
Buai Bugis, Buai Mega Putih, Buai Muyi, Buai Cempaka, Buai Kametaro, dan Buai
Bungo Mayang.
Di
Belalau, Islam dibawa empat orang putra Pagaruyung (Minangkabau). Sebelumnya,
di wilayah ini telah berdiri sebuah kerajaan legendaris bernama Sekala Brak,
dengan penghuninya suku bangsa Tumi, penganut animisme. Bangsa Tumi
mengagungkan sebuah pohon bernama Belasa Kepampang atau nangka bercabang.
Konon, pohon ini memiliki dua cabang, satunya nangka dan sisi yang lain adalah
sebukau, sejenis kayu bergetah. Keistimewaan pohon ini, jika terkena getah kayu
sebukau bisa menimbulkan koreng dan hanya dapat disembuhkan dengan getah nangka
di sebelahnya.
Agama
Islam masuk ke Lampung sekitar abad ke-15 melalui tiga pintu utama,
salah satunya yaitu dari arah selatan atau Banten oleh Fatahillah atau
Sunan Gunung Jati, melalui Labuhan Maringgai di Keratuan Pugung pada 1525. Selain
itu, Islam di Lampung masuk lewat budaya setempat, meskipun
penyebaran agama Islam di Lampung dominan melalui selatan (Banten), bukan
berarti bisa menjamah seluruh daerah di Lampung. Dari barat misalnya, Islam mudah
masuk dari Pagaruyung (Minangkabau). Dari utara, Islam masuk dari Palembang
melalui Komering.
Dari
barat,
Islam dibawa empat putra Raja Pagaruyung Maulana Umpu Ngegalang Paksi. Empat
putra Maulana Umpu Ngegalang Paksi adalah Umpu Bejalan, Umpu Belunguh, Umpu
Nyerupa, dan Umpu Pernong. Fase ini menjadi bagian terpenting dari eksistensi
masyarakat Lampung. Kedatangan keempat umpu ini merupakan kemunduran dari
Kerajaan Sekala Brak Kuno atau Buay Tumi yang merupakan penganut Hindu
Bairawa/animisme. Momentum ini sekaligus tonggak berdirinya Kepaksian Sekala
Brak atau Paksi Pak Sekala Brak yang berasaskan Islam.
Umpu
berasal dari kata ampu tuan (bahasa Pagaruyung), sebutan bagi anak raja-raja
Pagaruyung Minangkabau. Di Sekala Brak, keempat umpu tersebut mendirikan suatu
perserikatan yang dinamai Paksi Pak yang berarti empat serangkai atau empat
sepakat. Setelah perserikatan ini cukup kuat, suku bangsa Tumi dapat
ditaklukkan dan sejak itu berkembanglah Islam di Sekala Brak. Pemimpin Buay
Tumi dari Kerajaan Sekala Brak saat itu wanita yang bernama Ratu Sekerumong
yang pada akhirnya dapat ditaklukkan Perserikatan Paksi Pak.
Sedangkan
penduduk yang belum memeluk Islam melarikan diri ke pesisir Krui dan terus
menyeberang ke Jawa dan sebagian lagi ke Palembang. Agar syiar agama Islam
tidak mendapatkan hambatan, pohon belasa kepampang yang disembah suku bangsa
Tumi ditebang untuk kemudian dibuat pepadun. Pepadun adalah singgasana yang
hanya dapat digunakan atau diduduki pada saat penobatan saibatin raja-raja dari
Paksi Pak Sekala Brak serta keturunannya.
Ditebangnya
pohon belasa kepampang ini pertanda jatuhnya kekuasaan Tumi sekaligus hilangnya
animisme di Kerajaan Sekala Brak, Lampung Barat. Islam juga erat kaitannya
dengan adat dan budaya Lampung. Sebagai cikal bakal masyarakat suku Lampung,
Paksi Pak Sekala Brak memasukkan nilai-nilai keislaman dalam semua peristiwa
dan upacara adat. Hampir tidak ada acara adat yang tidak berbau Islam. Mulai
dari kelahiran anak sampai perkawinan dan kematian selalu bernuansa Islam.
Menurut
kitab Kuntara Raja Niti, orang Lampung memiliki sifat-sifat piil-pusanggiri
(malu melakukan pekerjaan hina menurut agama serta memiliki harga diri);
juluk-adok (mempunyai kepribadian sesuai dengan gelar adat yang disandangnya);
nemui-nyimah (saling mengunjungi untuk bersilaturahmi serta ramah menerima
tamu); nengah-nyampur (aktif dalam pergaulan bermasyarakat dan tidak
individualistis); sakai-sambaian (gotong royong dan saling membantu dengan
anggota masyarakat lainnya). Semua sifat itu fondasinya adalah islam.
Sedangkan
pengaruh agama Islam dari arah (Palembang) masuk lewat Komering. Ketika
itu, Palembang diperintah Arya Damar. Diperkirakan, Islam masuk dari utara
dibawa Minak Kemala Bumi atau yang juga dikenal dengan nama Minak Patih
Prajurit. Makamnya berada di Pagardewa, Tulangbawang Barat, bersebelahan dengan
makam Tubagus Haji Muhammad Saleh dari Banten, yang juga tokoh penyebar agama
Islam di daerah ini.
Dari
selatan (Banten), Islam diperkirakan
dibawa Fatahillah atau Sunan Gunung Jati melalui Labuhanmaringgai sekarang,
tepatnya di Keratuan Pugung. Di sini, konon, Fatahillah menikah dengan Putri
Sinar Alam, anak Ratu Pugung. Dari pernikahan ini melahirkan anak yang diberi
nama Minak Kemala Ratu, yang kemudian menjadi cikal bakal Keratuan Darah Putih
dan menurunkan Radin Inten, pahlawan Lampung yang juga tokoh penyebar Islam di
pesisir.
Selain
melalui jalur budaya, perdagangan juga ikut mewarnai masuknya Islam di
Lampung. Salah satunya rombongan dari Tiongkok yang dipimpin Laksamana Cheng
Ho, berniaga dari Palembang dan menyusuri Way Tulangbawang. Awalnya Islam masuk
ke Indonesia pada abad VII Masehi Selat Malaka. Perdagangan saat itu
menghubungkan Dinasti Tang di China, Sriwijaya di Asia Tenggara, dan Bani
Umayyah di Asia Barat.
Kerajaan
Sriwijaya mempunyai hubungan perdagangan yang sangat baik dengan saudagar dari
China, India, Arab, dan Madagaskar. Hal itu bisa dipastikan dari temuan mata
uang China, mulai dari periode Dinasti Tang (960-1279 M) sampai Dinasti Ming
(abad 14-17 M).
Berkaitan
dengan komoditas yang diperdagangkan, berita Arab dari Ibn al-Fakih (902 M),
Abu Zayd (916 M), dan Mas’udi (955 M) menyebutkan beberapa di antaranya
cengkih, pala, kapulaga, lada, pinang, kayu gaharu, kayu cendana, kapur barus,
gading, timah, emas, perak, kayu hitam, kayu sapan, rempah-rempah, dan penyu.
Barang-barang ini dibeli oleh pedagang asing, atau dibarter dengan porselen,
katun, dan sutra
Menurut
sumber-sumber China menjelang akhir perempatan ketiga abad VII, seorang
pedagang Arab menjadi pemimpin permukiman Arab muslim di pesisir pantai
Sumatera. Jalur perdagangan ini kemudian disambung dengan tali perkawinan
antara saudagar dan masyarakat setempat, atau bahkan keluarga kerajaan. Dari
hasil perkawinan inilah yang membuat perubahan pada kerajaan-kerajaan di
Sumatera.
Salah
satu penyebab banyak hilangnya situs-situs milik kerajaan di Sumatera karena
dijual keluarga kerajaan kepada saudagar asing, Situs-situs sebelum Islam masuk
berupa patung-patung sesembahan yang kemudian disingkirkan karena bertentangan
dengan ajaran Islam. Berbeda dengan kerajaan di Pulau Jawa yang terus
mempertahankan benda-benda budayanya, sebab memang Islam masuk sebagian besar
melalui jalur budaya.
Barulah
sekitar abad XIV perjalanan Laksamana Cheng Ho memasuki Way Tulang Bawang dan
berinteraksi dengan warga sekitar. Selain itu juga ada pintu masuk lain, yakni
Labuhan maringgai, terbukti ada beberapa daerah yang dinamai Lawangkuri di Gedungwani
dari Sultan Banten.
B. Bukti Peradaban Islam di Lampung
Diantara
bukti-bukti adanya peradaban Islam di Lampung pada masa itu adalah batu nisan
Bercorak Kerajaan Samudera Pasai di Lampung Selatan, yaitu di Kampung
Muarabatang dan Wonosobo (sekarang Tanggamus, red). “Batu nisan ini mempunyai
bentuk dan corak sama dengan nisan milik Malik Al Saleh di Pasai yang berasal
dari tahun 1297,” yang
merupakan dua jejak masuknya Islam dari arah Malaka. Bukti lainnya itu berupa
peta Kota Mekah dan baju adat bertuliskan aksara arab yang disimpan di Rumah
Karya Niti Jaman di wilayah pesisir, tepatnya di Desa Condong, Kecamatan
Rajabasa.
Peninggalan
abad XV sebagai pertanda Islam masuk ke sana antara lain Alquran bertulis
tangan kuno dan Perjanjian Banten-Lampung. Perjanjian persaudaraan itu ditulis
menggunakan bahasa arab. Selain itu, bukti lain adalah UU Adat atau Kuntara
Raja Niti. Undang-undang ditulis dalam dua versi, yakni berbahasa Banten dengan
aksara Arab dan bahasa Lampung dengan huruf ka-ga-nga.
“Dari
silsilah bisa diketahui Ratu Dara Putih yang memerintah di Lampung dengan
Sultan Hasanuddin pemerintah di Banten adalah kakak-adik,” Bukti lain juga
dapat dilihat dari adanya Masjid Jamik Al-Anwar yang berdiri sejak 1839 yang
terletak di Kelurahan Pesawahan, Telukbetung Selatan, Bandar Lampung, ini
mempunyai sejarah panjang perkembangan Islam di Sang Bumi Ruwai Jurai. Yang di prakarsai ole Muhammad Soleh yang
sebelumnya hanya sebuah mushola kecil yang merupakan cikal bakal berdirinya
masjid tersebut. Namun, tragedi meletusnya Gunung Krakatau tahun yang
mengakibatkan air pasang sangat tinggi, merendam dan menghanyutkan banyak
bangunan di kawasan Teluk Lampung, termasuk bangunan musala yang dibangun pada
1839 itu.
Pasca
meletusnya gunung krakatau, penyebaran islam di lampung semakin pesat, Salah
satunya di prakarsai oleh penyiar agama Islam asal Hadramaut, Yaman, yakni
Habib Alwi bin Ali Al Idrus yang makamnya di Kecamatan Ketapang, Lampung
Selatan. Makam itu disertai dua makam yang konon murid sang Habib di dalam
Masjid Nurul Huda, Desa Ketapang. Hingga kini makam itu terus diziarahi umat
Islam dari berbagai daerah.
Salah
satu peninggalan Habib dan pengikutnya saat tinggal di Bakauheni adalah sebuah
sumur yang airnya tetap tawar walaupun terintrusi air laut. “Namun, sumur itu
baru bisa dilihat kalau air laut surut,” Di dalam Masjid Nurul Huda ada dua
nisan berdekatan tapi berbeda. Makam sang Habib tertutup kelambu, sedangkan
makam di sebelahnya tidak. “Konon makam itu merupakan makam murid kesayangan
Habib".
Di
papan pengumuman masjid terdapat foto bangunan surau dan silsilah keturunan
Habib. Tercantum keturunan Habib Alwi Al-Idrus, mulai dari Abdurrohman bin
Syekh Nul Karim, Abdurrohim bin Abdurrohman dan terakhir Abdurrouf bin
Abdurrohim. “Keturunan Habib yang masih hidup kabarnya ada di Labuhanmaringgai,
Lamtim. Di sana juga ada makam saudara kandung Habib".
Di
halaman Masjid Jami itu juga terdapat meriam kuno peninggalan Portugis pada
1811. Bunyi meriam ini kemudian menjadi tanda umat Islam sebagai awal berpuasa.
“Meriam kuno ini dibunyikan pada waktu-waktu tertentu yakni untuk menyerukan
ibadah salat magrib, subuh, dan saat berbuka puasa".
Memasuki
periode 1922–1962, keberadaan Masjid Jami Al Anwar memberikan makna besar
terhadap nilai-nilai perjuangan menghadapi penjajahan Belanda. Masjid Al Anwar menjadi basis pendidikan dan
pembinaan kader pejuang muslim. Menurut buku Risalah Masjid Jami Al Anwar, semangat
yang ditunjukkan jemaah luar biasa untuk mengikuti setiap kegiatan pembinaan
mental dan spiritual oleh ulama di masjid itu. Saat itu, jemaah diajarkan
sekaligus ditanamkan sikap-sikap mengenai semangat perjuangan dan nasionalisme.
Kedudukan
Masjid Al Anwar yang sangat strategis dari aspek perjuangan, membuat ulama dan
jemaah mencari solusi terbaik dan efektif menggalang dan mengorganisasikan
kekuatan umat Islam di medan perjuangan. Kemudian, pada Oktober 1946, dibentuk
Laskar Hizbullah dan Sabilillah yang dipimpin A. Rauf Ali dan H. Harun.Setelah
dibentuknya Hizbullah dan Sabilillah, potensi persatuan antarumat Islam semakin
erat untuk berjuang menghadapi penjajahan Belanda dan Jepang.
Setelah
zaman kemerdekaan, kepengurusan Masjid Jami Al Anwar mengalami pembaruan, baik
dari sumber daya manusia maupun pengorganisasiannya. Akhirnya, pada 1950
terbentuk kepengurusan baru yang diketuai Kgs. Abdul Hakim, sedangkan pembina
umat dipercayakan kepada K.H. Nawawi dan K.H. Ahmad Toha dibantu para ulama,
seperti K.H. S.D.M. Hadi Sulaiman, K.H.A. Majid Hamid, K.H.A. Rauf Ali, Ibrahim
Magad, Kgs. H. M. Soleh Thoib, Ustaz Ramli, dan Kgs. M. Saleh Amin.
Sejalan
dengan perkembangan zaman, tahun 1962 strategi dalam hal pola pembinaan umat
Islam mengalami perubahan dan penyempurnaan, yakni mewujudkan pembangunan
sekolah keagamaan, seperti (middle arabische school (MAS) dengan pimpinannya
seorang keturunan Arab yang memiliki predikat sayid, yaitu Mohammad Said Ali.
Lalu, pembangunan madrasah ibtidaiah (MI) di depan Masjid Al Anwar. Pembangunan
ini diprakarsai Mas Agus Muhammad Amin alias H. Item bersama ulama dan saudagar
Arab yang konon berjumlah 29 orang. Di sekolah ini pucuk pimpinan dipercayakan
kepada Subroto.
Sedangkan
bangunan tempat pembinaan dan pendidikan yang terakhir, yakni sekolah
Muhammadiyah yang diprakarsai Kgs. H. Ateh, Kgs. H. Anang, dan Somad Solichin
di Kelurahan Gedungpakuon dipindahkan ke Jalan Kampung Upas. Bukti lainnya juga
dapat dilihat dengan adanya bedung masjid di pring sewu yang waktu itu
dipimpin oleh K.H. Gholib seorang ulama yangbelajar dengan banyak guru. Yang mana beduk tersebut berfungsi sebagai
tanda waktu sholat.
Selain
itu pesantren yang dibangun oleh K.H. Ghalib di pring sewu ini juga merupakan
bukti adanya peradaban islam di lampung. Selain itu, masjid Yaqin yang
diberdiri sejak 1912 ini juga
merupakan bukti adanya peradaban islam di Lampung, Masjid itu kini terletak di
Jalan Raden Intan, Bandar Lampung, (depan Kantor BRI Tanjungkarang) bisa
dikatakan sebagai salah satu tempat ibadah umat muslim yang berperan dalam
kesinambungan ajaran-ajaran Islam di Bandar Lampung.
Kemudian,
pada 1925, masjid ini dipindahkan ke Enggal (lokasi masjid saat ini) dan diberi
nama Masjid Enggal Perdana. Pada 1965, atribut masjid ini kembali diubah menjadi
Masjid Jami Al Yaqin hingga sekarang.
C. Tambahan
Para ilmuan barat mengatakan bahwa Islam masuk ke
Indonesia pada abad ke-13, sedangkan dalam logikanya tidak bisa Islam dengan
segala dinamikanya langsung mendirikan sebuah kerajaan tidak lama setelah kedatangannya,
akhirnya keluarlah pendapat bahwa sebenarnya Islam sudah masuk ke Nusantara
sejak abad ke-7 M dibawa oleh orang-orang shaleh dari Arab. Kemudian Islam
menetap di Nusantara dan membangun sebuah masyarakat Islam sehingga mampu
mendirikan sebuah kerajaan.
Yang juga menarik dibahas adalah ketika
Fatahillah melakukan ‘perkawinan politik’ dengan Putri SinarAlam anak ratu
Pugung, maka lahirlah Minak Kejala Ratu yang kemudian menjadi cikal bakal
Keratuan Darah Putih yang menurunkan pahlawan nasional Raden Intan. Dengan
begitu bisa dikatakan bahwa jalur yang paling berpengaruh dalam penyebaran
Islam di Lampung adalah yang dibawa oleh Fatahillah dari Banten.
Kemudian dikutip dari buku yang berjudul “Kerajaan Tulang Bawang di Lampung
sebelum dan Sesudah Islam”, Islam
masuk ke Lampung di bawa oleh putra daerah Lampung sendiri yang bernama Minak
Kemala Bumi bin Tuan Rio Mangku Bumi putra dari raja Tulang Bawang. Pada
mulanya Minak Kemala Bumi ke Banten memenuhi permintaan Sultan Banten untuk
meneruskan rencananya mengalahkan Palembang menebus kegagalan bapaknya Syahanda
Tuan Rio Mangku Bumi. Namun kedatangan Minak Kemala Bumi lain yang
diharapakan, Minak Kemala Bumi diminta oleh Sultan Banten untuk memeluk
Islam.
Akhirnya
Minak pun bersyahadat memeluk Islam. Tidak putus di sini, setelah memeluk
Islam, Minak merasa tidak puas hingga akhirnya ia memutuskan pergi ke Makkah
untuk beribadah dan mendalami Islam di sana. Sesampainya di Makkah, Malak
mempelajari dan mendalami Islam, mulai dari ilmu Aqidah, Fikih, Tafsir, Hadits,
Bahasa Arab Nahwu Sorof, dan yang lebih mengharukan lagi beliau juga adalah
seorang hafidz yang telah menghafal kitab suci Al Qur’an 30 Juz.
Setelah
merasa cukup Minak Kemala Bumi berkeinginan pulang ke Lampung. Melalui via
Palembang baru kemudian Lampung. Sebelum ke Lampung Minak Kemala Bumi juga
menyiarkan Islam di Palembang, meskipun sudah ada Mubaligh yg ada di sana
sebelumnya.
Setelah
itu beliau kembali ke Lampung dan menyiarkan Islam. Kemudian hasil dari
dakwahnya ternyata berkembang sehingga banyak masjid2 yang berdiri di Lampung.
Seorang Mujahid Lampung Minak Kemala Bumi telah meninggal yang diperkirakan
meninggal pada tahun XVI M.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Pada intinya banyak jalur dan banyak pandangan pula
mengenai proses masuknya Islam di Lampung. Yang paling terkenal selain jalur
perdagangan dan jalur budaya adalah 3 jalur utama, antara lain dari
arah barat (Minangkabau) agama ini masuk melalui Belalau (Lampung Barat), dari
utara (Palembang) melalui Komering pada masa Adipati Arya Damar (1443), dan
dari arah selatan (Banten) oleh Fatahillah, melalui Labuhan Maringgai di
Keratuan Pugung (1525). Dari pemaparan ini semoga dapat menambah pemahaman
mengenai sejarah kebudayaan Islam, terutama di Lampung. Begitu banyak sekali
ibrah yang dapat diambil, salah satunya adalah bagaimana perjuangan umat
terdahulu dalam menyebarkan Islam hingga mencapai kejayaannya.
DAFTAR PUSTAKA
Junaidah, Nanik.
2008. “ISLAM DI LAMPUNG 1552-1570”. Fakultas Adab, UIN Sunan Kalijaga.
Yogyakarta
Anonim.
2016. Islam di Lampung. https://id.wikipedia.org/wiki/Islam_di_Lampung.
Diakses pada Maret 2019
Naff Analis. 2018. “Sejarah Emas Awal Masuknya Islam di Lampung”. https://sinarlampung.com/sejarah-emas-awal-masuknya-islam-ke-lampung/. Diakses pada
Maret 2019
Comments
Post a Comment